Akhir-akhir ini, di kotaku sering ada operasi besar-besaran. Nggak cuman di pagi hari, siang, bahkan di malam hari, operasi kendaraan dari kapolres kabupaten tetap dijalankan. Heran, nggak ada liburnya.
Denger-denger sih, klo ada operasi besar-besaran, pas ada pergantian Bupati. Tapi memang iya sih, di kabupatenku, Probolinggo, baru aja ada pergantian Bupati.
Beberapa minggu yang lalu, aku dan ibu sengaja berbocengan motor ke kota. Semuanya udah lengkap si, cuma ga bawa STNK. Padahal paginya ibu udah nyuruh nyari ayah, soalnya STNK motor kan dibawa sama ayah. Tapi aku ngeles,"Udah, nggak usah bawa STNK, biasanya klo ada stop-stop-an polisi, ga bakalan di berhentiin."
Dan ini jawaban yang nggak bagus -______-".
Kayaknya hari itu nggak bejo, soalnya pas dalam perjalanan pulang ke rumah, ada operasi polisi.
Awalnya ibuku takut, soalnya ga bawa STNK.
Tapi dengan PD-nya ku bilang,"Udah terus aja bu, biasanya klo motornya lengkap, nggak bakalan di Stop."
Dan ini adalah jawaban kedua yang nggak bener -____-".
Ternyata dugaanku salah, semua motor, mobil, truk yang lewat di stop semua.
*Panik
Yah, akhirnya dengan pasrah ku terima aja surat tilang, dan SIM-ku akhirnya ditahan.
Buat nebus SIM, aku harus bayar Rp 60.000,- setelah sidang.
Pas sidang sih, aku nggak datang. Cuma minta tolong sama ayah buat ngambil ke Polres kabupaten. Kata ayah sih, banyak juga yang lagi sidang. Sampe-sampe SIMnya harus nyari sendiri di kotak kardus.
Dan ternyata operasi itu nggak berhenti di hari itu aja. Keesokan harinya, bahkan setiap hari sampe hari ini, operasi masih dilaksanakan.
Kemaren baru dapet cerita, klo ada pengendara motor yang sampe kecelakaan gara-gara ada stop-an.
Ceritanya itu, motor tersebut berboncengan.
mungkin karena nggak bawa Helm de el el, motor itu terpaksa putar arah buat menghindari stop-an polisi.
Apesnya, pas nyebrang, motor itu terpeleset, dan akhirnya tertabrak truk dari arah berlawanan.
Dan, aku nggak tau kelanjutan gimana nasib pengendara tersebut ㅠ.ㅠ.
Nggak perlu saling menyalahkan klo masalah tilang-tilang kayak gini.
Hukum sebab-akibat berlaku disini.
Siapa yang melanggar peraturan, ya harus dihukum.
Tapi secara umum, di kasus tilang ini, hukuman yang diberikan adalah denda berupa uang.
Sampe-sampe ada opini di masyarakat klo "oknum petugas" gajinya dari hasil nilang. Sukanya nyari duit tambahan dari nilang. Badannya gendut karena dapet duit dari nyari-nyari kesalahan orang. Dan opini-opini negatif lain yang secara nggak langsung menyudutkan "oknum petugas" ini.
Sebagai warga negara yang baik, seharusnya kita tidak boleh menjelek-jelekkan aparatur negara yang bertugas menjaga kemanan negara.
Tapi ya gimana, opini negatif terlanjur beredar di masyarakat.
Meskipun aku juga percaya, masih ada "oknum petugas" di luar sana yang bener-bener baik.
Pernah dengar,"iya, memang ada yang baik, tapi 1:100" (entah ini benar atau tidak, soalnya nggak punya relasi yang bekerja di bidang tersebut).
Sebenernya aku dan teman-teman kuliahku punya pengalaman pribadi dengan "oknum petugas" yang dulu menangani kasus pencurian di kosanku dulu.
Sebenernya agak kecewa sih, karena pelaku yang ditangkap, dibebaskan setelah mereka minta damai. Padahal menurut informasi, pelaku itu sudah jadi incaran sejak lama, namun belum ada bukti untuk melakukan penangkapan.
Semenjak itulah, aku hanya bergumam "Yah...cukup tahu-lah." =(
Kembali lagi ke masalah denda tilang yang diharuskan membayar uang.
Secara pribadi, sebagai masyarakat yang ekonominya pas-pas-an, agak berat sebenarnya untuk mengeluarkan uang sebesar itu, dimana uang tersebut masih bisa digunakan untuk membeli kebutuhan pangan.
Apalagi bagi keluargaku yang sering banget nyumbang buat "oknum petugas" tersebut.
Paling sering adikku yang ditilang, sering banget.
Nggak cuman puluhan ribu, bahkan sekali tilang sampe ratusan ribu.
Terakhir, malahan bayar 350ribu, gara-gara motornya dikirain motor curian.
"Merasa berat mengeluarkan uang denda" disini BUKAN berarti tidak mau mengakui kesalahan yang telah diperbuat.
Klo salah ya salah, nggak perlu maksa tindakannya bener.
Jadi intinya di nilai uangnya.
Denda uang ini menurutku kurang efektif, karena masih banyak orang yang melanggar peraturan lalu lintas dengan sengaja atau bahkan tidak disengaja.
Bagi yang berduit, mengeluarkan uang dengan jumlah segitu mungkin nggak masalah.
Tapi "rasa Jera" disini nggak melekat ke pelanggar lalu lintas.
Karena mereka akan berpikiran, tinggal ngasih duit ini aja, selesai urusan.
Akan tetapi makna dari hukuman itu seperti nggak berbekas.
Pas nonton film Korea, ada adegan dimana pejabat yang ketahuan kena korupsi, dihukum buat "Pelayanan Masyarakat"
Kenapa denda tilang ini ngga diganti sama "Jam Pelayanan Masyarakat" aja?
Jadi "Pelayanan Masyarakat" ini dihitung dengan jam.
Misalnya, dihukum pelayanan masyarakat selama 1000jam.
Tinggal ngitung aja itu selama berapa hari.
Pelayanan masyarakatnya macem-macem,
bisa nyebrangin anak sekolah, bersih-bersih di taman kota, atau mungkin jadi petugas bersih-bersih di kota.
Jadi arahnya lebih ke sosial.
Mungkin susah di awalnya, tapi klo dijalanin, Insya Allah bisa..
ato bisa juga macam pelanggaran ada dua, denda uang sama pelayanan masyarakat, tergantung jenis pelanggarannya..
Jadi mungkin saja dengan hukuman yang lebih ke arah sosial, bisa mengurangi opini negatif masyarakat terhadap "oknum petugas" ini.
Yah.... sapa juga sih yang mau di cap Negatif sama masyarakat?
Klo di cap negatif terus, masyarakat bakalan nggak respek sama "oknum petugas" ini...
Yah..opini hanyalah opini..
Realisasi?
Kembali kepada yang bersangkutan.
Denger-denger sih, klo ada operasi besar-besaran, pas ada pergantian Bupati. Tapi memang iya sih, di kabupatenku, Probolinggo, baru aja ada pergantian Bupati.
Beberapa minggu yang lalu, aku dan ibu sengaja berbocengan motor ke kota. Semuanya udah lengkap si, cuma ga bawa STNK. Padahal paginya ibu udah nyuruh nyari ayah, soalnya STNK motor kan dibawa sama ayah. Tapi aku ngeles,"Udah, nggak usah bawa STNK, biasanya klo ada stop-stop-an polisi, ga bakalan di berhentiin."
Dan ini jawaban yang nggak bagus -______-".
Kayaknya hari itu nggak bejo, soalnya pas dalam perjalanan pulang ke rumah, ada operasi polisi.
Awalnya ibuku takut, soalnya ga bawa STNK.
Tapi dengan PD-nya ku bilang,"Udah terus aja bu, biasanya klo motornya lengkap, nggak bakalan di Stop."
Dan ini adalah jawaban kedua yang nggak bener -____-".
Ternyata dugaanku salah, semua motor, mobil, truk yang lewat di stop semua.
*Panik
Yah, akhirnya dengan pasrah ku terima aja surat tilang, dan SIM-ku akhirnya ditahan.
Buat nebus SIM, aku harus bayar Rp 60.000,- setelah sidang.
Pas sidang sih, aku nggak datang. Cuma minta tolong sama ayah buat ngambil ke Polres kabupaten. Kata ayah sih, banyak juga yang lagi sidang. Sampe-sampe SIMnya harus nyari sendiri di kotak kardus.
Dan ternyata operasi itu nggak berhenti di hari itu aja. Keesokan harinya, bahkan setiap hari sampe hari ini, operasi masih dilaksanakan.
Kemaren baru dapet cerita, klo ada pengendara motor yang sampe kecelakaan gara-gara ada stop-an.
Ceritanya itu, motor tersebut berboncengan.
mungkin karena nggak bawa Helm de el el, motor itu terpaksa putar arah buat menghindari stop-an polisi.
Apesnya, pas nyebrang, motor itu terpeleset, dan akhirnya tertabrak truk dari arah berlawanan.
Dan, aku nggak tau kelanjutan gimana nasib pengendara tersebut ㅠ.ㅠ.
Nggak perlu saling menyalahkan klo masalah tilang-tilang kayak gini.
Hukum sebab-akibat berlaku disini.
Siapa yang melanggar peraturan, ya harus dihukum.
Tapi secara umum, di kasus tilang ini, hukuman yang diberikan adalah denda berupa uang.
Sampe-sampe ada opini di masyarakat klo "oknum petugas" gajinya dari hasil nilang. Sukanya nyari duit tambahan dari nilang. Badannya gendut karena dapet duit dari nyari-nyari kesalahan orang. Dan opini-opini negatif lain yang secara nggak langsung menyudutkan "oknum petugas" ini.
Sebagai warga negara yang baik, seharusnya kita tidak boleh menjelek-jelekkan aparatur negara yang bertugas menjaga kemanan negara.
Tapi ya gimana, opini negatif terlanjur beredar di masyarakat.
Meskipun aku juga percaya, masih ada "oknum petugas" di luar sana yang bener-bener baik.
Pernah dengar,"iya, memang ada yang baik, tapi 1:100" (entah ini benar atau tidak, soalnya nggak punya relasi yang bekerja di bidang tersebut).
Sebenernya aku dan teman-teman kuliahku punya pengalaman pribadi dengan "oknum petugas" yang dulu menangani kasus pencurian di kosanku dulu.
Sebenernya agak kecewa sih, karena pelaku yang ditangkap, dibebaskan setelah mereka minta damai. Padahal menurut informasi, pelaku itu sudah jadi incaran sejak lama, namun belum ada bukti untuk melakukan penangkapan.
Semenjak itulah, aku hanya bergumam "Yah...cukup tahu-lah." =(
Kembali lagi ke masalah denda tilang yang diharuskan membayar uang.
Secara pribadi, sebagai masyarakat yang ekonominya pas-pas-an, agak berat sebenarnya untuk mengeluarkan uang sebesar itu, dimana uang tersebut masih bisa digunakan untuk membeli kebutuhan pangan.
Apalagi bagi keluargaku yang sering banget nyumbang buat "oknum petugas" tersebut.
Paling sering adikku yang ditilang, sering banget.
Nggak cuman puluhan ribu, bahkan sekali tilang sampe ratusan ribu.
Terakhir, malahan bayar 350ribu, gara-gara motornya dikirain motor curian.
"Merasa berat mengeluarkan uang denda" disini BUKAN berarti tidak mau mengakui kesalahan yang telah diperbuat.
Klo salah ya salah, nggak perlu maksa tindakannya bener.
Jadi intinya di nilai uangnya.
Denda uang ini menurutku kurang efektif, karena masih banyak orang yang melanggar peraturan lalu lintas dengan sengaja atau bahkan tidak disengaja.
Bagi yang berduit, mengeluarkan uang dengan jumlah segitu mungkin nggak masalah.
Tapi "rasa Jera" disini nggak melekat ke pelanggar lalu lintas.
Karena mereka akan berpikiran, tinggal ngasih duit ini aja, selesai urusan.
Akan tetapi makna dari hukuman itu seperti nggak berbekas.
Pas nonton film Korea, ada adegan dimana pejabat yang ketahuan kena korupsi, dihukum buat "Pelayanan Masyarakat"
Kenapa denda tilang ini ngga diganti sama "Jam Pelayanan Masyarakat" aja?
Jadi "Pelayanan Masyarakat" ini dihitung dengan jam.
Misalnya, dihukum pelayanan masyarakat selama 1000jam.
Tinggal ngitung aja itu selama berapa hari.
Pelayanan masyarakatnya macem-macem,
bisa nyebrangin anak sekolah, bersih-bersih di taman kota, atau mungkin jadi petugas bersih-bersih di kota.
Jadi arahnya lebih ke sosial.
Mungkin susah di awalnya, tapi klo dijalanin, Insya Allah bisa..
ato bisa juga macam pelanggaran ada dua, denda uang sama pelayanan masyarakat, tergantung jenis pelanggarannya..
Jadi mungkin saja dengan hukuman yang lebih ke arah sosial, bisa mengurangi opini negatif masyarakat terhadap "oknum petugas" ini.
Yah.... sapa juga sih yang mau di cap Negatif sama masyarakat?
Klo di cap negatif terus, masyarakat bakalan nggak respek sama "oknum petugas" ini...
Yah..opini hanyalah opini..
Realisasi?
Kembali kepada yang bersangkutan.
Menarik sekali Artikelnya,, karena saya sendiri sering dijalanan untuk mengantarkan bibit tanaman ke luar kota.
ReplyDeleteSekarang mari jawab pertanyaan ini.
Dari 100 petugas, ada berapa yg benar2 bersih:
a) 1 orang
b) 5 Orang
c) 99 orang
d) tidak ada
e) Semuanya bersih
hehehe....
hahaha...makasih admin... :))
ReplyDeletewaduuh...susah banget ya pertanyaannya..
masalahnya kita orang awam jg ga tau.. dan blm ada surveynya..
yaah...dalamnya hati siapa yg tau.. :D
Gag perlu di survey,, Mending pilih E aja,,, gag dijawab jelas salah.
ReplyDeleteHanya bisa berdo'a. "Mudah-mudahan benar"
berdo'a terus sampai dapet kunci jawaban yg benar... :D
Kalau masih ragu, tanya buguru ajah.. :)
Amiiiiin..... namanya juga harapan warga negara, agar semua pelayan masyarakat bener2 mengabdikan diri dengan ikhlas dan tanpa pamrih..
Deletentar klo nanya bu guru, trus gurunya nggak tau, kasihan Bu gurunya donk..
Bingung mau nanya kemana... :D