Tidak terasa, sudah sebulan aku tinggal di kota Metropolitan,
Jakarta. Awalnya sempat merasa berat untuk tinggal lebih lama di ibukota
Indonesia ini. Tapi, berbagai cerita dan pengalaman yang amat mengesankan,
tanpa ku sadari telah menjadi bagian dari hidupku di Jakarta.
Sebenarnya, apa sih enaknya tinggal di kota yang ramai kayak
Jakarta? Berangkat macet, pulang juga macet. Waktu yang harusnya banyak
digunakan untuk bersantai malah habis di jalan. Air bersih juga susah, dan airnya
nggak segar kayak di Bogor. Satu hal yang kurang bisa ditoleransi sebagai fresh
graduate adalah harga makanan yang mahalnya bisa 3x lipat dibandingkan
makanan di sekitar kampus. Beraaaat euy… tapi ya mau gimana lagi, masa nggak
makan karena harga yang lebih mahal.
Banyak faktor yang membuat aku merasa berat sebenarnya untuk
tinggal di Jakarta. Salah satunya adalah kondisi angkutan umum seperti Busway,
kopaja, metro mini, bianglala, bajaj, bemo, taksi, and etc. Satu bulan
di Jakarta sudah cukup untuk merasakan berbagai fasilitas angkutan umum yang
sudah aku sebutkan di atas. Salah satu angkutan umum yang ingin aku ceritakan
adalah bus 213 rute Kampung Melayu-Grogol.
Salah satu alasan aku menggunakan jasa angkutan bus ini adalah, harga
tiketnya yang murah, cepat sampai, dan bus ini adalah satu-satunya yang
melewati Jalan Sudirman kalau naik dari Grogol, dibandingkan dengan busway yang harus transit dan ngantrinya yang lama.
Karena rutenya yang panjang dan harganya murah inilah banyak
orang yang berebut untuk naik bus ini. Para penumpang harus rela
berdesak-desakan hanya karena ingin masuk ke dalam bus. Karena tidak ada
pilihan lain yang lebih baik, akhirnya bus 213 inilah yang akhirnya menjadi
angkutan wajib kalau pulang dari Sudirman. Mungkin banyak yang belum tahu
bagaimana keadaan yang sebenarnya tentang bus 213 ini.
Dimulai dari ciri-ciri fisik bus ini yang berwarna dasar
putih, dengan garis orange di sepanjang badan bus. Bagian depan bus ini hampir
mirip dengan kopaja AC, tapi yang membedakan adalah angka bus di bagian depan
yaitu 213. Ada seniorku yang malahan melesetin kalau 213 itu sebenarnya adalah
singkatan dari “penumpangnya 2, yang 13 itu semuanya copet”.
Awalnya sih, sempat percaya… tapi setelah membuktikan sendiri, semuanya ya penumpang, yang lainnya kondektur sama kernetnya. Kalau masalah copet si, udah umum.. jadi waspada diri sendiri aja. Bagian dalam bus ini, sampai ada 3 garis besi yang sudah disediakan untuk penumpang yang banyak dan berdiri.
Awalnya sih, sempat percaya… tapi setelah membuktikan sendiri, semuanya ya penumpang, yang lainnya kondektur sama kernetnya. Kalau masalah copet si, udah umum.. jadi waspada diri sendiri aja. Bagian dalam bus ini, sampai ada 3 garis besi yang sudah disediakan untuk penumpang yang banyak dan berdiri.
Salah satu kejadian yang kurang mengenakkan adalah pada suatu
pagi, aku dan temanku menunggu bus ini di halte depan Taman Anggrek. Setelah
menunggu lama, akhirnya datang juga bus yang ditunggu-tunggu. Kebiasaan bus 213
ini kalau lewat depan Taman Anggrek, pasti nggak mau menepi di dekat halte, dan
bus ini tetap aja di tengah dimana kondisi kendaraan pada saat itu rame. Karena
nggak ada pilihan lain, akhirnya aku berdua sama temanku memberanikan diri
untuk membelah lautan kendaraan yang ramai di pagi hari. Sebelum naik, bus ini
memang agak pelan, tapi setelah kami hampir sampai di pintu, eh.. malah tancap
gas. Nggak ngerti deh, maksudnya sopir itu apa.. kenapa nggak bisa sabar
sedikit buat nunggu penumpang naik. Kebayang dong, kami-kami di tengah jalan
dengan kondisi kendaraan yang rame, tepat di sebelah jalur busway.
Akhirnya, dengan rasa malu yang udah telat, aku dan temanku
nyebrang jalan lagi menuju halte. Ingin rasanya menangis karena malu, tapi ini
Jakarta… aku nggak boleh lemah dan cengeng. Akhirnya, ku putuskan untuk naik
busway, meskipun nantinya harus berjalan lebih jauh lagi ke arah Sampoerna.
Malam ini, seperti biasa aku dan temanku menunggu bus 213
keramat ini.
-Bus pertama lewat-
kami nggak berani naik
karena posisi bus sudah miring ke arah kiri. Bayangkan betapa penuhnya
penumpang, sampai menggandul di pintu.
-Bus kedua-
Hyaaah… ketutup sama kopaja 19 dan posisinya di tengah jalan
dan sopirnya ngebut. Hopeless….
Nggak jadi naik juga…
-Bus ketiga-
Kami berdua sampai lari buat mengejar bus ini, dan tampaknya
masih bisa masuk. Akhirnya kami pun masuk dengan terpaksa. Dan posisiku pun
sudah di pintu alias “nge-gandol”. Ya Allah, kalau bukan karena
perlindungan-Mu, mungkin tanganku tidak akan mampu menahan tubuh ini.
Parahnya lagi, masih ada orang yang mau naik ke dalam bus ini
meskipun situasinya sudah Over Load. Mereka nggak ngerti apa, ada cewek
yang di pintu.. Ya Rabb.. udah kelewat batas kayaknya…
Seandainya temanku tadi nggak masuk bus, aku rela turun buat
nunggu bus yang selanjutnya. Sampai si kernet bilang sama anak yang maksa naik,
“udah nggak muat, jangan dipaksain. Gara-gara temen lo yang kemaren ada yang
jatuh, kita kena panggil polisi. Udah nggak mau bayar juga, tetep maksa!” (red:
ini bahasa yang sudah diperhalus oleh penulis; bahasa yang sebenarnya tidak
pantas dituliskan ulang). Aku kembali teringat pesan ibuku… “shalawat”.
Akhirnya, dengan memasrahkan diri dan membaca shalawat
sepanjang perjalanan, aku bisa selamat sampai tujuan. Teringat kembali saat
berjubel di dalam bus. Aku sempat melesetkan ke temenku kalau naik bus 213 ini serasa
“menggadaikan tubuh” mungkin terkesan “kejam” banget perumpamaanya. Karena di
dalam bus ini orang tidak akan sengaja bersentuhan kulit, bahkan badan. Ini
juga yang membuat kurang nyaman sebenarnya, karena niatan orang kan beda-beda.
Yaah… sepanjang ini yang bisa dilakukan hanya ber-husnudzon aja.. dan tidak
punya niatan yang buruk insya allah akan tetap dijaga.
Disamping kesan kurang menyenangkan tentang bus 213 ini, ada
juga cerita yang menarik karena bus 213 juga. Cerita ini berawal dari jalan Sudirman.
Sebenarnya aku bukan tipe orang yang suka memperhatikan orang di dalam bus
seperti ini (kecuali kalau lagi di busway..hehehe). Cerita ini berawal dari
adanya sosok seorang pria berkemeja putih yang berdiri di sebelahku. Nggak tau
kenapa, pria itu tiba-tiba agak menengok ke arahku, mungkin dia merasa mengenal
seseorang (posisi dimana aku memakai masker, karena emang lagi batuk). Karena
ditengok, aku jadi penasaran juga..hehhe..
-Kesan pertama -
Tiba-tiba muncul pikiran iseng di benakku… dan akhirnya aku
ajak obrol temanku yang berdiri di sebelah..
I : “Eh pit, coba lihat mas yang pake hem putih yang berdiri
di sampingku. Wajahnya hampir mirip sama Siwon loh..”
P : “enggak ah.. lha wong beda gitu loh..”
I : “kan aku belum selesai ngomong, mirip kalau kamu
ngelihatnya pake kacamata yang kacanya gambarnya Siwon…hehehhe”
P : “ya elaah… dasar”
I : “eh pit, tapi tingginya hampir sama loh, sama Siwon”
(tetep… nggak mau beralih dari topik Siwon)
P : “kok bisa ngerti?”
I : “iyalaah… aku kan pernah foto sama gambarnya
Siwon..hehhe. Tinggiku sepundaknya kayaknya”..
-Sesampainya
di halte Taman Anggrek”
Aku
dan temanku turun.. dan tanpa disadari ternyata mas “hem putih” juga turun di
tempat yang sama. Nah lho…
Semakin
penasaran, akhirnya aku juga mengamati pria “menarik” itu.. dan dia juga belok
ke gang yang sama dengan tempat tinggalku di Jakarta..
#waah…dan
akhirnya mas “hem putih” menjadi topik perbincangan di malam itu..
Dan
sebelum tidur, aku sempat bilang “udah lah pit, nggak usah dipikirin… kalau
Jodoh, pasti besok ketemu lagi”
-Keesokan
harinya-
Setelah
pulang dari magang, aku dan temanku juga naik bus 213 menuju kosan. Sebenarnya
si, aku sudah lupa percapakan bersama temanku di malam sebelumnya tentang mas
“hem putih”.
Tapi,
ada hal menarik yang membuat topik ini kembali dimunculkan. Aku kembali berdiri
saat menumpang bus 213 ini dan aku menghadap jendela. Saat bus berhenti untuk
menaikkan penumpang, secara tidak sengaja aku melihat sesosok pria yang
“tampaknya” tidak asing bagiku, juga akan naik bus ini.
Apakaah dia?? Awalnya si, aku nggak yakin sama mas “hem putih” itu. Saat bus agak kosong, aku nggak sengaja menengok ke belakang untuk mencari tempat duduk, dan sosok tadi juga tetap disana, memakai hem “merah marun”, dan postur tubuhnya juga sama seperti mas “hem putih”. Waaah….
Sesampainya di halte Taman Anggrek, aku ingin memastikan apakah benar dia merupakan mas ‘‘hem putih” kemaren. Dan pas belokan, aku iseng nengok ke belakang, dan sosok yang sama juga turun dan juga menengok ke arahku… Subhanallah.. Shock juga.. hahha.. ternyata memang benar dia orangnya…
Dan
cuma dua kali kami berpapasan sama si mas “hem putih-merah”. Sampai sekarang,
belum ada kesempatan untuk bertemu dengan beliau lagi…
Closing
statement : Bagaimanapun kondisi busnya, yang penting punya peluang buat ketemu
sama mas “hem putih-merah”…. Nah Lho…
Grogol,
17 April 2012
tak kiro opo. haha
ReplyDeletejangan-jangan dikira cerita misteri yo.. kkkkk
Deletendrooooo,,,,
ReplyDeletetak pikir opooo ngono sing 'sesuatu'
-____-'''
kkkkkkk....iku carane ben tulisan di woco uwong.. dadine judule ben gawe penasaran sek..
Deleteterkesan seperti aku akan menceritakan sejarah bus 213... hihihihi